Langsung ke konten utama

PSIKOLOGI : Makalah SKIZOFRENIA



opening : ini aku upload bukan buat nyuruh kalian jadi copy-cat sejati yaaa... ini buat nambah2 referensi dan bacaan kalian aja. biar ilmu aku bermanfaat makanya aku bagiin buat kalian khususnya yang sama2 di jurusan Psikologi. aku ngeri kok, ngerasain banget gimana pusingnya jadi anak Psikologi, apalagi kalo udah nyangkut bikin2 jurnal, makalah, dsb, dsb... 
sekali lagi, yang lagi belajar Psikologi Abnormal, sok mangga ini boleh banget dibaca, kalo mau di copy juga mangga tapi inget musti dibaca dulu, biar faham isinya gimana ;;) 
untuk seluruh anak Psikologi di seluruh nusantara, cemunguuuuuutt :* muah muahhh


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Bentuk gangguan psikosis berbeda pada beberapa hal penting, namun sama-sama memiliki ciri utama gangguan hebat dalam pengalaman realitas individu mengenal dunia dan dirinya. Orang dengan gangguan psikotik memiliki kesulitan berfikir atau berbicara dengan selaras dan terganggu, dan mungkin tersiksa oleh gambaran atau suara yang hidup.
Episode psikotik adalah salah satu hal yang paling menakutkan dan menyiksa dari pengalaman manusia, namun mungkin lebih menakutkan lagi adalah ketidakmampuan mereka untuk mengontrol. Distres orang-orang yang mengalami episode psikotik diperburuk dengan ketakutan san aversi perilaku seperti itu yang terjadi pada orang lain. Sulit bagi orang awam untuk tidak terganggu dengan keeksentrikan dan pengembaraan yang aneh dari orang yang dalam keadaan psikotik. Karena orang yang memiliki gangguan psikotik sangat sering ditolaj oleh orang lain, mereka sering terisolasi dan memiliki sedikit kesempatan untuk melakukan interaksi sosial.
Skizofrenia mungkin merupakan sindrom klinis yang paling membingungkan dan melumpuhkan. Skizofrenia merupakan gangguan psikologis yang paling berhubungan dengan pandangan populer tentang gila atau sakit mental. Hal ini sering kali menimbulkan rasa takut, kesalahpahaman, dan penghukuman, bukannya simpati dan perhatian. Skizofrenia menyerang jati diri seseorang, memutus hubungan yang erat antara pemikiran dan perasaan serta mengisinya dengan persepsi yang terganggu, ide yang salah, dan konsepsi yang tidak logis.
Agar tidak terjadi kesalahpahaman seperti yang telah dipikirkan orang awam sebelumnya mengenai orang penderita skizofrenia, oleh karenanya Penulis menuangkan berbagai hal mengenai gangguan skizofrenia dalam makalah ini.

Rumusan Masalah
1.       Apakah Skizofrenia itu dan seberapa sering terjadi?
2.       Apakah ciri-ciri yang paling jelas dari skizofrenia?
3.       Bagaimana treatment  yang harus diberikan pada penderita skizofrenia?

B.     Tujuan
1.       Ingin mengetahui lebih rinci mengenai gangguan skizofrenia.
2.       Lebih memahami ciri-ciri dari gangguan skizofrenia.

3.       D. Manfaat
Ada dua manfaat dari makalah ini, yaitu:
1. Manfaat teoritis
Memberi sumbangan informasi berkaitan dengan materi gangguan skizofrenia
2. Manfaat praktis
a) Bagi mahasiswa semester IV Psikologi, makalah ini dapat dijadikan panduan dalam mempelajari materi gangguan skizofrenia
b) Bagi publik, makalah ini dapat menambah pengetahuan mengenai ciri-ciri gangguan skizofrenia.

















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Mengenal Skizofrenia
Apakah Anda pernah melihat seseorang di jalan berbicara sendiri, melakukan isyarat aneh, dan betindak seolah-olah mendengar suara yang tidak dapat didengar oleh seorang pun? Anda mungkin heran apa yang salah dengan orang tersebut. Meskipun perilaku seperti itu dapat diasosiasikan dengan sejumlah kondisi seperti reaksi obat, pada banyak kasus, hal tersebut merupakan simtom-simtom dari bentuk psikosis yang disebut skizofrenia yang memengaruhi lebih dari  persen populasi penduduk dewasa.
Skizofrenia (schizophrenia) adalah gangguan dengan serangkaian simtom yang meliputi gangguan konteks berfikir, bentuk pemikiran, persepsi, afek, rasa terhadap diri (sense of self), motivasi, perilaku, dan fungsi interpersonal. Skizofrenia menyentuh setiap aspek kehidupan dari orang yang terkena. Episode akut dari skizofrenia ditandai dengan waham, halusinasi pikiran yang tidak logis, pembicaraan yang tidak koheren, dan perilaku yang aneh. Diantara episode-episode akut, orang yang mengalami skizofrenia mungkin tetap tidak dapat berfikir secara jernih dan mungkin kehilangan respons emosional yang sesuai terhadap orang-orang dan peristiwa-peristiwa dalam hidupnya.
Skizofrenia biasanya berkembang pada masa remaja akhir atau dewasa awal, tepat pada saat orang mulai keluar dari keluarga menuju dunia luar (Cowan & Kandel, 2001; Harrop & Tower, 2001). Orang yang mengidap skizofrenia semakin lama semakin terlepas dari masyarakat. Merek gagal untuk  berfungsi sesuai peran yang diharapkan sebagai pelajar, pekerja, atau pasangan, dan keluarga serta komunitas mereka menjadi kurang toleran terhadap perilaku mereka yang menyimpang. Gangguan ini biasanya berkembang pada akhir masa remaja atau awal usia 20 tahun-an, pada masa di mana otak sudah mencapai kematangan yang penuh. Pada sekitar tiga dari empat kasus, tanda-tanda pertama dari skizofrenia tampak pada usia 25 tahun (Keith, Reiger & Rae, 1991).
Pada beberapa kasus, munculnya (mulai terjadinya) gangguan tergolong akut. Hal ini terjadi secara tiba-tiba, dalam beberapa minggu atau bulan. Individu mungkin sebelumnya apat menyesuaikan diri secara baik dan kalaupun ada hanya sedikit menunjukan gangguan tingkah laku. Kemudian perubahan yang cepat dalam kepribadian dan perilaku membawanya pada episode psikotik akut.
Pada kebanyakan kasus, terjadi penurunan yang lebih perlahan dan berangsur-angsur dalam fungsi individu. Mungkin butuh waktu bertahun-tahun sebelum perilaku psikotik muncul, meskipun tanda-tanda awal dari kemunduran mungkin dapat diamati. Periode kemunduran ini disebut sebagai fase prodromal. Hal ini ditandai dengan berkurangnya minat dalam aktivitas sosial dan meningkatnya kesulitan dalam memenuhi tanggung jawab di kehidupan sehari-hari. Pada mulanya, orang-orang semacam ini tampak menjadi kurang peduli akan penampilannya. Mereka tidak mandi secara teratur atau menggunakan pakaian yang sama secara berulang-ulang. Seiring waktu, perilaku mereka menjadi bertambah aneh atau eksentrik. Terjadi penurunan-penurunan dalam perrforma kerja dan tugas sekolah. Pembicaraan mereka semakin tidak jelas dan melantur. Mulanya perubahan-perubahan dalam kepribadian tersebut terjadi secara bertahap sehingga hanya sedikit menarik perhatian dari teman-teman dan keluarga. Hal ini mungkin dianggap sebagai salah satu “fase” yang sedang dilalui oleh orang tersebut. Namun ketika perilaku menjadi semakin aneh- seperti menimbun makanan, mengumpulkan sampah, atau berbicara sendiri di jalan- fase akut dari gangguan dimulai. Simtom-simtom psikotik yang sebenarnya berkembang, seperti halusinasi yang merajalela, waham, dan meningkatnya perilaku yang aneh.
Setelah episode akut, oranng-orang yang mengalami skizofrenia memasui fase residual, dimana perilaku mereka kembali pada tingkat sebelumnya yang merupakan karakteristik dari fase prodromal. Meskipun perilaku psikotik yang mencolok mungkin tidak muncul selama fase residual, orang tersebut tetap dapat terganggu oleh perasaan apatis yang dalam ,oleh kesulitan dalam berfikir atau berbicara dengan jelas, dan menyimpan ide yang tidak biasa, seperti keyakinan tentang telepati atau pandangan akan masa depan. Pola perilaku seperti ini mempersulit individu untuk memenuhi peran sosial yang diharapkan seperti mencari nafkah, pasangan dalam dalam pernikahan, atau siswa. Kembalinya seseorang secara penuh pada perilaku normal adalah tidak biasa namun terjadi pada beberapa kasus. Yang lebih umum adalah berkembanganya pola kronis, yang ditandai dengan terjadinya episode-episode psikotik akut dan berlanjutnya hendaya kognitif, emosional, dan motivasional antarepisode (Wiersma dkk., 1998; USDHHS, 1999a).
B.       Prevalensi Skizofrenia
Sekitar 1 persen dari populasi orang dewasa di Amerika Serikat terkena Skizofrenia, dengan jumlah keseluruhan lebih dari 2 juta orang (APA, 2000;Cowan & Kandel, 2001). Menurut hasil penelitian multinasional World Helath Organization (WHO), jumlah rata-rata penderita skizofreniatampak serupa pada budaya maju maupun sedang berkembang (Jablensky dkk., 1992).WHO memperkirakan bahwa sekitar 24 juta orang diseluruh dunia mengidap skizofrenia (Olson, 2001). Hampir 1 juta orang di Amerika Serikat menerima pengobatan untuk skizofrenia setiap tahun, dengan sekitar sepertiga dari mereka membutuhkan perawatan rumah sakit (Grady, 1997a). Biaya untuk menangani penyakit skizofrenia diperkirakan 30 miliar dolar AS setiap tahunnya dan mencakup 75% dari semua pengeluaran di Amerika Serikat yang diajukan untuk penanganan kesehatan mental (Cowan & Kandel, 2001; “Schizoprenia Update-Part I,” 1995).
Laki-laki cenderung memiliki resiko yang sedikit lebih tinggi untuk mengalami skizofrenia (APA, 2000). Perempuan cenderung mengalami gangguan pada usia yang lebih lanjut daripada laki-laki dengan usia awal kemunculan simtom terjadi paling banyak antara usia 25 sampai pertengahan 30 tahun untuk perempuan dan antara usia 15 sampai 25 tahun pada laki-laki (APA, 2000). Perempuan juga cenderung mencapai tingkatan fungsi yang lebih tinggi sebelum munculnya gangguan dan memiliki perjalanan penyakit yang kurang parah daripada laki-laki ( Hafner,dkk., 1998; USDHHS, 1999a).
Meskipun terjadinya skizofrenia tampak bersifat universal pada semua budaya, tahapan gangguan dan simtom-simtomnya mungkin bervariasi pada tiap budaya (Thakker & Ward, 1998). Sebagai contoh, halusinasi visual tampak lebih umum pada beberapa budaya yang bukan di Barat (Ndetei & Singh 1983; Ndetei & Vadher, 1984). Dalam penelitian yang diadakan di sebuah rumah sakit Inggris di Kenyam para peneliti menemukan bahwa penderita Skizofrenia dengan latar belakang Afrika, Asia, atau Jamaika sekitar dua kali lebih cenderung mengalami halusinasi visual dibandingkan mereka dengan latar belakang Eropa (Ndetei & Vadher, 1984).
C.    Sejarah Skizofrenia
Konseptualisasi modern tentang skizofrenia sebagian besar dibentuk oleh kontribusi dari Emil Kraepelin, Eugen Bleuler, dan Kurt Schneider.
Emil Kraepelin
Kraepelin (1856-1926), salah seorang bapak psikiatri modern, menyebut gangguan skizofrenia sebagai dementia praecox. Istilah ini diambil dari bahasa Latin dementis, yang berarti “di luar” (de-) jiwa seseorang (mens), dan akar yang memebentuk kata precocius, berarti “sebelum” tingkat “kematangan” dari seseorang. Dementia praecox  selanjutnya mengacu pada hendaya prematur (premature impairement) dari kemampuan mental. Kraepelin meyakini bahwa dementia praecox adalah sebuah proses penyakit yang disebabkan oleh patologi yang spesifik, meskipun tidak diketahui, di dalam tubuh. Istilah ini dianggap sebagai degenarasi otak yang dimulai di usia muda dan menyebabkan disintegrasi keseluruhan kepribadian. Kraepelin percaya bahwa gangguan halusinasi, delusi, dan perilaku ganjil yang terlihat pada orang-orang skizofrenia dapat dilacak pada abnormalitas fisik atau penyakit.

Eugen Bleuler
Pada tahun 1911, Psikiater Swiss Eugen Bleuler (1857-1939) mengganti nama dementia praecox menjadi skizofrenia, dari kata Yunani schitos, yang berarti “terpotong” atau “terpecah”, dan phren,berarti “otak”. Dalam melakukan hal ini, Bleuler memfokuskan pada karakterstik utama dari sindrom, yanitu terpisahnya fungsi otak yang mempengaruhi kognisi, respons-respons perasaan atau afektif, dan tingkah laku. Seseorang yang menderita skizofrenia, misalnya, mungkin tertawa dengan cara yang tidak sesuai ketika membicarakan peristiwa yang menyedihkan, atau tidak menunjukkan emosi yang sesuai dalam menghadapi tragedi. Tidak seperti Kraepelin, Bleuler berfikir bahwa hal yang mungkin bagi orang dengan skizofrenia untuk sembuh dari gangguannya. Di samping itu, Bleuler menganggap skizofrenia mewakili sekelompok gangguan. Meskipun ia menulis tentang gangguan tersebut hampir seabad lalu, gagasan Bleuler tentang skizofrenia masih berpengaruh hingga sekarang.
Bleuler meyakini bahwa skizofrenia dapat dikenali berdasarkan empat ciri atau simtom primer. Saat ini kita menyebutnya sebagai empat A :
1.      Asosiasi : gangguan berfikir, dapat dibuktikan dari adanya ucapan yang melantur dan tidak koheren.
2.      Afek  : gangguan pengalaman dan ekpresi emosi- misalnya tertawa secara tidak tepat dalam situasi sedih. Seseorang mungkin menunjukan hilangnya respons terhadap peristiwa yang tidak menyenangkan, atau tertawa terbahak-bahak setelah mendengar anggota keluarga atau teman meninggal dunia.
3.      Ambivalensi : ketidakmampuan untuk membuat atau mengikuti  keputusan. Seseorang yang menderita skizofrenia memiliki perasaan ambivalen atau konflik terhadap orang lain, seperti mencintai dan membenci mereka pada saat yang sama.
4.      Autisme : Kecenderungan untuk mempertahankan gaya eksemtrik dari pemikiran dan perilaku egosentris. Istilah ini menjelaskan penarikan diri  ke dunia fantasi pribadi yang tidak terikat oleh prinsip-prinsip logika.

Dalam pandangan Bleuler, halusinasi dan waham mewakili “simtom sekunder”, simtom-simtom yang menyertai simtom-simtom primer namun tidak menjelaskan gangguan. Namun demikian, pada tahun-tahun berikutnya teoritikus seperti Kurt Schneider (1957) mengatakan bahwa halusinasi dan waham adalah ciri-ciri kunci atau primer dari skizofrenia. Bleuler sangat dipengaruhi oleh teori psikodinamika. Dia yakin bahwa isi halusinasi dan waham dapat dijelaskan sebagai usaha usaha untuk menggantikan dunia luar dengan sebuah dunia fantasi.

Kurt Schneider
Orang lain yang berpengaruh dalam mengembangkan konsep modern tentang skizofrenia adalah psikiater Jerman Kurt Schneider (1887-1967). Schneider meyakini bahwa kriteria dari Bleuler (empat A) terlalu samar untuk tujuan diagnostik dan kriteria itu gagal untuk membedakan secara adekuat antara skizofrenia dengan gangguan lainnya. Kontribusi Schneider (1957) yang paling penting adalah membedakan anatara ciri-ciri skizofrenia yang diyakininya sebagai inti untuk diagnosis, yang disebutnya simtom peringkat pertama (first-rank symptoms), dan simtom peringkat kedua (second-rank symptoms), yang diyakininya tidak hanya ditemukan pada skizofrenia, namun juga pada gangguan psikosis lain dan pada beberapa gangguan nonpsikosis, seperti gangguan kepribadian. Dalam pandangan Schneider, apabila simtom peringkat pertama muncul dan tidak disebabkan oleh faktor organik, maka diagnosis skizofrenia dapat ditegakan. Halusinasi dan waham adalah simtom peringkat pertama yang utama. Gangguan mood dan kekacauan pikiran dianggap sebagai simtom peringkat kedua. Meskipun peringkat Schneider untuk perilaku yang terganggu membantu membedakan skizofrenia dari gangguan lainnya, sekarang kita mengetahui bahwa simtom peringkat pertama terkadang juga dijumpai pada orang yang mengalami gangguan lain, terutama gangguan bipolar.

D.       Ciri-ciri Skizofrenia
Skizofreniaadalah penyakit yang mempengaruhi lingkup yang luas dari proses psikologis mencakup kognisi, afek,dan perilaku ( Arango, Krikpatrick, & Buchanan, 2000). Orang-orang dengan skizofrenia menunjukan kemunduran yang jelas dalam fungsi pekerjaan dan sosial. Mereka mungkin mengalami kesulitan mempertahankan pembicaraan, membentuk pertemanan, mempertahankan pekerjaan, atau memperhatikan kebersihan pribadi mereka. Namun demikian tidak ada satu pola perilaku yang unik pada skizofrenia, demikian pula tidak ada satu pola perilaku yang selalu muncul pada penderita skizofrenia. Penderita skizofrenia mungkin menunjukan waham, masalah dalam berfikir asosiatif, dan halusinasi, pada satu atau lain waktu, namun tidak selalu semua tampil pada saat bersamaan. Juga terdapat perbedaan ragam atau jenis skizofrenia, dicirikan oleh pola-pola perilaku yang berbeda.
Laki-laki penderita skizofrenia tampak berbeda dari perempuan yang mengalami gangguan ini dalam beberapa  hal. Mereka cenderung mengalami onset pada usia yang lebih muda, memiliki tingkat penyesuaian diri yang lebih buruk sebelum menunjukan tanda-tanda gangguan, dan memiliki lebih banyak hendaya kognitif, defisit tingkah laku, dan reaksi yang lebih buruk terhadap terapi obat dibandingkan perempuan yang mengalami skizofrenia (Gorwood dkk., 1995; Ragland dkk., 1999). Perbedaan-perbedaan tersebut membuat para peneliti memperkirakan bahwa laki-laki dan perempuan cenderung mengembangkan bentuk skizofrenia yang berbeda. Mungkin skizofrenia mempengaruhi daerah otak yang berbeda pada laki-laki dan perempuan, yang mungkin menjelaskan perbedaan-perbedaan dalam bentuk atau ciri-ciri gangguan antargender.
Berikut adalah karakteristik/ciri-ciri dari gangguan skizofrenia :
Karakteristik Diagnostik Skizofrenia
·      Orang dengan gangguan ini mengalami gangguan yang berlangsung setidaknya 6 bulan dan meliputi setidaknya 1 bulan simtom aktif, termasuk setidaknya 2 dari simtom berikut :
·      Gangguan Pada Isi Fikiran : Delusi
·      Halusinasi
·      Pembicaraan yang tidak koheren atau ditandai oleh asosiasi longgar
·      Perilaku yang mengganggu atau perilaku katatonik
·      Simtom negatif, seperti afek datar atau kurangnya motivasi yang parah
·      Fungsi pada bidang-bidang seperti hubungan sosial, pekerjaan, atau perawatan diri selama perjalanan penyakit secara nyata berada di bawah tingkatan yang dapat dicapai sebelum munculnya gangguan. Apabila gangguan muncul pada masa kanak-kanak atau remaja, terdapat suatu kegagalan untuk mencapai tingkat perkembangan sosial yang diharapkan.
·      Tanda-tanda gangguan terjadi secara terus-menerus selama masa setidaknya 6 bulan. Masa 6 bulan ini harus mencakup fase aktif yang berlangsung setidaknya satu bulan di mana terjadi simtom psikotik (terdaftar pada A), yang merupakan karakteristik  skizofrenia.
·      Gangguan tidak dapat diatribusikan sebagai dampak zat-zat tertentu (misalnya, penyalahgunaan zat atau pengobatan yang diresepkan atau pada kondisi medis umum.

Sumber. Diadaptasi dari DSM-IV-R (APA, 2000)

1.    Gangguan dalam Isi Fikiran
Skizofrenia ditandai dengan gangguan dalam pemikiran atau keyakinan yang salah yang menetap pada pikiran seseorang tanpa mempertimbangkan dasar yang tidak logis dan tidak adanya bukti untuk mendukung keyakinan tersebut. Waham ini cenderung tidak tergoyahkan meskipun dihadapkan pada bukti yang bertentangan. Waham dapat memiliki bentuk yang berbeda. Beberapa yang umum adalah :
·      Waham persekusi (misalnya, “CIA tiba untuk menangkap saya”)
·      Waham refrensi (“orang-orang di bis membicarakan saya” atau “orang-orang di TV menjadikan saya sebagai bahan lelucon”)
·      Waham dikendalikan (meyakini bahwa pikiran, perasaan, impuls-impuls, atau tindakannya dikendalikan oleh kekuatan dari luar, seperti suruhan setan)
·      Waham kebesaran (meyakini bahwa dirinya sebagai Yesus atau meyakini dirinya sedang dalam mii khusus, atau memiliki rencana yang hebat namun tidak logis untuk menyelamatkan dunia)
Orang-orang yang memiliki waham persekusi mungkin berfikir bahwa mereka dikejar-kejar oleh Mafia, FBI, CIA, atau beberapa kelompok lain. Seorang perempuan yang kami rawat memiliki waham referensi, meyakini bahwa koresponden berita televisi menyiarkan informasi tersembunyi tentang dirinya. Seorang laki-laki yang memiliki waham jenis ini menunjukan keyakikan bahwa tetangganya memasang alat penyadap di dinding kamarnya. Waham lain meliputi keyakinan bahwa dirinya telah melakukan dosa yang tidak termaafkan, menjadi busuk karena penyakit yang mengerikan, atau bahwa dunia atau dirinya sendiri sesungguhnya tidak nyata.
Waham lain yang umumnya terjadi meliputi pemancaran pikiran (meyakini entah bagaimana pikirannya disebarkan ke dunia luar sehingga orang lain dapat mendengarnya), penyisipan pikiran (meyakini bahwa pikirannya telah ditanamkan pada otaknya oleh pihak luar), dan penarikan pikiran (meyakini bahwa pikirannya telah dipindahkan dari dalam otaknya). Mellor (1970) memberikan beberapa contoh pemancaran pikiran, penyisipan pikiran, dan penarikan pikiran sebagai berikut:
Pemancaran pikiran : seorang mahasiswa berusia 21 tahun melaporkan, “Saat saya berpikir, pikiran saya meninggalkan otak saya dalam bentuk sepertipita mental. Setiap orang di sekitar saya hanya perlu menyalurkan pita itu melalui otak mereka dan mereka akan mengetahui pemikiran saya.”
Penyisipan Pikiran: Seorang ibu rumah tangga berusia 29 tahun melaporkan bahwa ketika ia melihat keluar jendela, ia berpikir. “Kebun itu tampak indah dan rumputnya tampak bagus, tapi pikiran dari (nama seorang pria) masuk ke otak saya. Tidak ada pikiran lain disana, hanya ada miliknya... Ia memperlakukan pikiran saya seperti sebuah layar dan menyorotkan pemikirannya pada layar seperti kam menyorot sebuah gambar.”
Penarikan Pemikiran: Seorang perempuan berusia 22 tahun mengalami hal berikut: “Saya berfikir tentang ibu saya, dan tiba-tiba pikiran saya ditarik oleh sebuah penyedot isi kepala, dan tidak ada apa pun di otak saya, kosong.

2.    Gangguan Pada Persepsi : Halusinasi
Halusinasi,bentuk gangguan persepsi yang paling umum pada skizofrenia, adalah gambaran yang dipersepsi tanpa adanya stimulus dari lingkungan. Hal ini sulit dibedakan dari kenyataan. Halusinasi dapat melibatkan setiap indra. Halusinasi audiotoris (“mendengar suara”) adalah yang paling umum. Halusinasi taktil (seperti digelitik, sensasi listrik atau terbakar) dan halusinasi somatis (seperti merasa ada ular yang menjalar di dalam perut) juga umum. Halusinasi visual (melihat sesuatu yang tidak ada), halusinasi gustatoris (merasakan dengan lidah sesuatu yang tidak ada), dan halusinasi olfaktoris (mencium bau yang tidak ada) lebih jarang.
Halusinasi pendengaran terjadi sekitar 70% dari kasus skizofrenia (Cleghorn dkk., 1992). Pada halusinasi pendengaran, suara-suara mungkin didengar sebagai perempuan atau laki-laki dan seperti berasal dari dalam atau dari luar kepala individu (Asaad & Shapiro, 1986). Orang yang mengalami halusinasi mungkin mendengar suara tersebut berbicara tentang mereka dalam bentuk orang ketiga, memperdebatkan kebaikan-kebaikan atau kesalahan-kesalahan mereka.
Halusinasi bukanlah hal yang khas pada skizofrenia. Orang-orang yang mengalami depresi mayor dan mania terkadang mengalami halusinasi. Demikian pula halusinasi tidak selalu merupakan tanda dari psikopatologi. Bukti-bukti lintas budaya menunjukan halusinasi merupakan hal yang umum dan dihargai secara sosial di beberapa negara yang sedang berkembang (Bentall,1990). Bahkan di negaran yang sudah maju seperti Amerika Serikat, sekitar 5% dari responden yang menjadi sampel nonpasien menyatakan mengalami halusinasi selama beberapa tahun sebelumnya, kebanyakan halusinasi audiotoris (Honig dkk., 19998). Halusinasi pada orang-orang yang tidak mengalami kondisi psikiatris sering kali dipicu oleh stimulus sensoris dalan tingkat rendah yang tidak biasa (berbaring dalam kegelapan di ruangan yang kedap suara untuk waktu yang lama) atau tingkat pengaktifan yang rendah (Teunisse dkk., 1996).


3.    Gangguan Emosi
Gangguan afek atau respons emosional pada skizofrenia ditandai oleh afek yang tumpul-disebut juga afek datar- dan oleh afek yang tidak sesuai. Afek datar disimpulkan dari ketiadaan ekspresi emosi pada wajah dan suara. Orang yang mengalami skizofrenia mungkin berbicara secara monoton dan mempertahankan wajah tanpa ekspresi, atau “topeng”. Mereka mungkin tidak mengalami rentang normal dalam respons emosi terhadap orang-orang dan kejadian-kejadian. Atau respons emosi mereka mungkin tidak sesuai, seperti tertawa terhadap berita buruk.
Namun, tidak sepenuhnya jelas apakah tumpulnya emosi pada orang yang mengalami skizofrenia adalah suatu gangguan dalam kemampuan mereka mengekspresikan emosi, untuk melaporkan kemunculan emosi, atau untuk sungguh-sungguh mengalami emosi ( Berenbaum & Oltmans, 1990). Bukti-bukti terakhir berdasarkan penelitian laboratoris menunjukan bahwa pasien skizofrenia mengalami emosi negatif yang lebih intens, dibandingkan kelompok mayor (Myn-Germeys, Delespaul, & deVrie, 2000). Dengan kata lain, pasien skizofrenia dapat mengalami emosi yang kuat (terutama emosi negatif), bahkan apabila pengalaman mereka tidak disampaikan pada dunia luar melalui ekspresi wajah atau perilaku mereka. Orang-orang yang mengalami skizofrenia mungkin kehilangan kapasitas untuk mengekspresikan emosi mereka keluar (Kring & Neale, 1996).

4.      Beberapa jenis Hendaya Lainnya
Orang yang menderita skizofrenia mungkin menjadi bingung dengan identitas pribadi mereka-kelompok atribut dan karakteristik yang menjelaskan diri mereka sebagai individu dan memeberi arti serta arah terhadap hidup mereka. Mereka mungkin gagal untuk mengenali diri mereka sebagai individu yang unik dan tidak jelas mengenai seberapa banyak dari fenomena ini terkadang disebut sebagai hilangnya batasan-batasan ego. Mereka juga mungkin mengalami kesulitan memahami  perspektif pihak ketiga dan tidak memandang perilaku dan ucapan mereka sebagai hal yang tidak sesuai secara sosial pada situasi tertentu karena mereka tidak dapat memandang segala sesuatu dari sudut pandang orang lain (Carini & Nevid, 1992). Mereka juga mengalami kesulitan mengenali atau mempersepsikan emosi-emosi orang lain (Penn dkk., 2000).
Orang-orang yang mengalami skizofrenia mungkin tidak mampu melaksanakan rencana dan mungkin kehilangan minat atau dorongan. Munculnya ambivalensi terhadap pemilihan serangkaian tindakan mungkin menghambat aktivitas yang menghasilkan tujuan.
Orang-orang yang menderita skizofrenia mungkin menunjukan perilaku kegembiraan yang tinggi atau liar, atau perilaku yang lambat hingga keadaan stupor. Mereka mungkin menunjukan gerakan-gerakan yang ganjil dan ekspresi wajah yang aneh, atau menjadi tidak responsif dan terbatas dalam gerakan spontan. Pada kasus yang ekstrem, seperti pada skizofrenia katatonik, orang tersbut tampaknya tidak menyadari lingkungannya atau mempertahankan postur tubuh yang kaku. Atau orang tersbut mungkin berkeliling-keliling dengan penuh semangat namun debfab cara yang tampaknya tidak ada tujuan.
Orang-orang yang mengalami skizofrenia juga cenderung menunjukan hendaya yang signifikan dalam hubungan interpersonal. Mereka cenderung menarik diri dari interaksi sosial dan asyik dengan pikiran-pikiran dan fantasi-fantasi pribadi mereka. Atau mereka sangat terikat pada orang lain sehingga membuat orang terebut tidak nyaman. Mereka dapat sangat didominasi oleh fantasi-fantasi mereka sendiri sehingga pada intinya mereka kehilangan sentuhan dengan dunia luar. Mereka juga cenderung introver dan aneh bahkan sebelum kemunculan perilaku psikotik (Berenbaum & Fujita, 1994). Tanda-tanda awal tersebut mungkin berhubungan dengan kerentanan terhadap skizofrenia, paling tidak pada orang-orang yang memiliki resiko genetis untuk mengembangkan gangguan ini.

E.       Tipe Skizofrenia
Meskipun kita berbicara tentang skizofrenia sebagai gangguan tersendiri, sebenarnya ada bermacam-macam jenis, berbeda secara dramatis pada individu yang berbeda yang disebut oleh DSM-IV-TR sebagai tipe. Ketika simtom perilaku motorik yang ganjil, maka orang tersebut didiagnosis ke dalam skizofrenia katatonik.
Diagnosis skizofrenia tipe disorganisasi dicirikan dengan kombinasi simtom yang meliputi ucapan yang tidak teratur, perilaku terganggu, dan afek datar atau tidak sesuai. Bahkan, delusi dan halusinasi orng tersebut, ketika muncul, tidak koheren temanya. Individu dengan gangguan tersebut ganjil dalam perilaku dan penampilan mereka dan biasanya memiliki kelemahan yang serius dalam pekerjaan dan konteks sosial yang lain.
Orang yang didiagnosis dengan skizofrenia tipe paranoid diliputi dengan satu atau lebih delusi yang ganjil atau mengalami halusinasi auditori yang berkaitan dengan suatu tema bahwa ia disiksa atau dilecehkan, tetapi tidak disertai ucapan yang tidak teratur atau perilaku yang terganggu. Halusinasinya biasanya berkaitan dengan isi delusi; tetapi fungsi kognitif dan fungsi afek cukup normal. Orang dengan skizofrenia tipe paranoid memiliki masalah interpersonal yang parah karena kecurigaan mereka dan gaya argumentatif mereka.
Pada beberapa orang dengan skizofrenia, simtom-simtom tersebut bercampur, dan klinisi tidak dapat mengklarifikasikan gangguan tersebut ke salah satu tipe yang baru saja kita diskusikan; suatu diagnosis skizofrenia tipe tidak terindentifikasi digunakan ketika seseorang menunjukan simtom skizofrenia yang kompleks, seperti delusi, halusinasi, ketidakjelasan, dan perilaku tergangguam namun tidak sesuai dengan kriteria skizofrenia tipe katatonik (abnormalitas gerakan), tipe disorganisasi (afek yang terganggua atau datar), atau tipe paranoid (delusi ganjil yang sistematis).
Beberapa orang yang telah didiagnosis skizofrenia mungkin tidak lagi memiliki simtom psikotik yang menonjol, namun masih menunjukan beberapa tanda gangguan tersebut. Meskipun mereka tidak mengalami delusi, halusinasi, ketidakjelasan, atau disorganisasi, mereka mungkin memiliki beberapa simtom, seperti ketumpulan emosi, penarikan diri dari lingkungan sosial, perilaku eksentrik, atau pemikiran yang tidak logis. Individu-individu seperti ini akan didiagnosis sebagai skizofrenia tipe residu.

F.     Etiologi Skizofrenia
Dengan beragamnya presentasi gejala dan prognostik, maka tidak ada faktor etiologi yang dianggap kausatif. Oleh karena itu terdapat berbagai penyebab, antara lain :
1.      Studi Adopsi
Sebanyak 31 anak dari 47 anak yang memiliki ibu skizofrenik (66%) menerima suatu diagnosis DSM, dibandingkan dengan hanya 9 anaj dari 50 anak peserta kontrol (18%). Tidak seorang pun dari peserta kontrol yang mendapatkan diagnosis skizofrenia, namun 16,6% dari keturunan para ibu yang menderita skizofrenia juga mendapatkan diagnosis yang sama. Kelompok kontrol disini adalah kelompok yang diseleksi dari panti asuhan yang sama dengan yang ditinggali oleh anak-anak dari para ibu yang menderita skizofrenia. Anak-anak dari para ibu yang menderita skizofrenia juga lebih mungkin untuk didiagnosis lemah mental, psikopatik dan neurotik. Anak-anak yang dibesarkan tanpa berhubungan dengan para ibu mereka yang patogenik juga lebih mungkin menjadi skizofrenik dibanding kelompok kontrol.
2.      Evaluasi Data Genetik
Data mengindikasikan bahwa faktor-faktor genetik berperan penting dalam terjadinya skizofrenia. Kita tidak dapat menyimpulkan bahwa skizofrenia adalah gangguan yang sepenuhnya disebabkan oleh transmisi genetik karena kita harus selalu ingat perbedaan antara fenotip dan genotip. Skizofrenia ditandai oleh perilaku; yaitu fenotip, dengan demikian mencerminkan pengaruh gen dan lingkungan. Model diathesis stres tampaknya sesuai untuk memandu teori dan penelitian mengenai etiologi skizofrenia. Faktor-faktor genetik hanya dapat menjadi pemberi predisposisi terhadap skizofrenia.
3.      Faktor Biokimia
Peran faktor genetik dalam skizofrenia menunjukkan bahwa faktor-faktor biokimia perlu diteliti karena melalui kimia tubuh dan proses-proses biologislah faktor keturunan tersebut dapat berpengaruh.
Aktivitas Dopamin. Teori bahwa skizofrenia berhubungan dengan aktivitas berlebihan neurotransmiter dopamin, terutama didasarkan pada pengetahuan bahwa obat-obatan yang efektif untuk menangani skizofrenia menurunkan aktivitas dopamin.
Dukungan lebih jauh yang tidak langsung bagi teori dopamin dalam skizofrenia diperoleh dari literatur mengenai psikosis amfetamin. Amfetamin dapat menyebabkan suatu kondisi yang sangat mirip dengan skizofrenia paranoid dan dapat memperparah simtomatologi orang dengan gangguan skizofrenia. Efek amfetamin yang menimbulkan psikosis merupakan akibat peningkatan dopamin dan bukan peningkatan norepinefrin karena obat-obat antipsikotik adalah obat yang menyembuhkan psikosis amfetamin.
Reseptor dopamin lebih besar jumlahnya atau hipersensitif pada beberapa orang penderita skizofrenia. Memiliki terlalu banyak reseptor secara fungsional akan sama dengan memiliki terlalu banyak dopamin itu sendiri. Penyebabnya adalah bila dopamin dilepaskan kedalam sinaps, hanya beberapa diantaranya yang secara aktual berinteraksi dengan reseptor pascasinaptik. Memiliki banyak reseptor memberikan kesempatan yang lebih besar bagi dopamin yang dilepaskan untuk merangsang suatu reseptor.
Kelebihan reseptor dopamin mungkin tidak berperan dalam semua simtom skizofrenia, kondisi itu tampaknya berhubungan terutama dengan simtom-simtom positif. Amfetamin tidak memperparah simtom-simtom pada semua orang dengan gangguan skizofrenia. Simtom-simtom secara aktual berkurang setelah para orang dengan gangguan skizofrenia diberi amfetamin. Obat-obatan antipsikotik ternyata hanya mengurangi beberapa simtom skizofrenia. Amfetamin memperparah simtom-simtom positif dan mengurangi simtom-simtom negatif. Antipsikotik mengurangi simtom-simtom positif namun hanya berpengaruh sedikit atau bahkan tidak berpengaruh bagi simtom-simtom negatif.
Perkembangan selanjutnya dalam teori dopamin memperluas ruang lingkupnya. Perubahan penting termasuk diketahuinya perbedaan di antara jalur-jalur saraf yang menggunakan dopamin sebagai transmiter. Kelebihan aktivitas dopamin yang diduga paling relevan dengan skizofrenia terdapat di dalam jalur mesolimbik dan efek terapeutik obat-obatan antipsikotik terhadap simtom-simtom positif terjadi dengan cara menghambat berbagai reseptor dopamin dan sistem saraf tersebut sehingga menurunkan aktivitasnya.
Rendahnya aktivitas neuron dopamin dalam daerah otak tersebut juga dapat menjadi penyebab simtom-simtom negatif skizofrenia. Teori ini memiliki keuntungan yaitu memungkinkan terjadinya simtom-simtom negatif dan positif secara simultan pada orang dengan gangguan skizofrenia.
Evaluasi Data Biokimia. Terlepas dari bukti-bukti positif yang telah kita kaji, teori dopamin tidak muncul sebagai teori lengkap skizofrenia. Contohnya, perlu beberapa minggu bagi obat-obat antipsikotik untuk secara bertahap mengurangi simtom-simtom positif skizofrenia meskipun obat-obat tersebut dengan cepat menghambat reseptor dopamin.
Meskipun dopamin tetap merupakan variabel biokimia yang paling aktif diteliti, namun tidak mungkin dapat memberikan penjelasan lengkap mengenai biokimia skizofrenia. Skizofrenia merupakan gangguan dengan simtom-simtom yang luas mencakup persepsi, kognisi, aktivitas motorik dan perilaku sosial. Tidak mungkin bila satu neurotransmiter tunggal dapat menjadi penyebab semua itu.
4.      Kelainan Otak
Beberapa orang dengan gangguan skizofrenia telah diketahui memiliki patologi otak yang dapat diamati. Analisis pascakematian pada otak orang dengan gangguan skizofrenia merupakan salah satu sumber bukti. Berbagai studi semacam itu secara konsisten mengungkap adanya abnormalitas spesifik yang dilaporkan bervariasi antarstudi dan terdapat banyak temuan yang saling bertentangan. Temuan yang paling konsisten adalah pelebaran rongga otak yang berimplikasi pada hilangnya beberapa sel otak. Berbagai temuan lain yang cukup konsisten mengindikasikan abnormalitas struktur pada daerah subkortikal temporal limbik, seperti hipokampus dan basal ganglia dan pada korteks prefrontalis dan temporal.
Sejauh ini, berbagai citra jaringan otak hidup secara paling konsisten mengungkap bahwa beberapa orang dengan gangguan skizofrenia, terutama laki-laki memiliki rongga otak yang melebar. Penelitian juga menunjukkan berkurangnya daerah abu-abu kortikal di daerah temporal dan frontalis dan berkurangnya volume basal ganglia dan struktur limbik.
Dalam studi kembar yang menderita skizofrenia memiliki rongga otak yang lebih lebar dibandingkan kembar yang sehat dan dalam salah satu studi sebagian besar kembar yang menderita skizofrenia dapat diidentifikasi hanya dengan melakukan pengamatan visual sederhana terhadap pemindaian tersebut. Karena para kembar tersebut secara genetik identik, data ini menunjukkan bahwa abnormalitas otak tersebut mungkin tidak berciri genetik. Rongga otak yang lebar pada para orang dengan gangguan skizofrenia berkolerasi dengan kinerja yang lemah dalam berbagai tes neuropsikologis, penyesuaian yang buruk sebelum timbulnya gangguan dan respons yang buruk dalam terapi obat. Meskipun demikian, pelebaran rongga otak tersebut hanya sedikit dan dalam hal ini banyak orang dengan gangguan skizofrenia yang tidak berbeda dari orang normal. Rongga otak yang melebar tidak spesifik pada skizofrenia karena juga ditemukan dalam pemindaian CT pada para orang dengan gangguan skizofrenia yang menderita beberapa psikosis lain, seperti mania.
Berbagai macam data menunjukkan bahwa korteks prefrontalis secara khusus penting dalam skizofrenia. Korteks prefrontalis diketahui berperan dalam perilaku seperti berbicara, pengambilan keputusan dan tindakan yang bertujuan, yang kesemuanya mengalami gangguan dalam skizofrenia; berbagai studi MRI menunjukkan berkurangnya daerah abu-abu dalam korteks prefrontalis; ketika orang dengangangguan skizofrenia sedang mengerjakan tes-tes psikologis, para orang dengangangguan skizofrenia menunjukkan tingkat metabolisme yang rendah dalam korteks prefrontalis. Karena tes-tes tersebut membutuhkan pengaktifan korteks prefrontalis, secara normal metabolisme glukosa meningkat sejalan dengan penggunaan energi. Para orang dengan gangguan skizofrenia , terutama dengan simtom-simtom negatif yang dominan, tidak dapat melakukan tes tersebut dengan baik dan juga tidak menunjukkan terjadinya aktivasi daerah prefrontalis. Tidak terjadinya aktivasi frontalis juga ditemukan dengan menggunakan alat yang dikembangkan lebih mutakhir yaitu fmri.
 Terlepas dari berkurangnya volume darah abu-abu dalam korteks temporalis dan frontalis, jumlah neuron dalam daerah-daerah tersebut tidak tampak berkurang. Berbagai studi yang lebih detail mengindikasikan bahwa sesuatu yang hilang di daerah-daerah tersebut kemungkinan adalah sesuatu yang disebut spinal dendritik. Spinal dendritik adalah cabang kecil pada batang dendrit dimana impuls-impuls saraf diterima dari berbagai neuron lain. Hilangnya spinal dendritik tersebut berarti komunikasi diantara neuron-neuron akan terganggu, mengakibatkan kondisi yang diistilahkan oleh beberapa orang sebagai “sindrom diskoneksi.” Salah satu kemungkinan akibat kegagalan berbagai sistem neural untuk saling berkomunikasi dapat berupa disorganisasi pembicaraan dan behavioral yang terjadi pada skizofrenia.
Otak orang yang mengalami skizofrenia mengalami kerusakan pada awal perkembangannya, mengapa gangguan tersebut baru dialami bertahun-tahun kemudian pada masa remaja atau masa dewasa awal? Weinberger mengemukakan jawabannya, bahwa cedera otak berinteraksi dengan perkembangan otak normal dan bahwa korteks prefrontalis merupakan struktur otak yang mengalami kematangan paling akhir, pada umumnya pada masa remaja. Oleh karena itu, cedera di daerah ini tidak tercermin dalam perilaku seseorang sebelum mencapai periode perkembangan di mana korteks prefrontalis mulai berperan lebih besar dalam perilaku. Perlu dicatat, aktivitas dopamin juga memuncak pada masa remaja, yang dapat lebih jauh memicu tahap terjadinya simtom-simtom skizofrenik.


5.     Stres Psikologis
Stres psikologis berperan penting dengan cara berinteraksi dengan kerentanan biologis untuk menimbulkan penyakit ini. Data menunjukkan bahwa, sebagaimana pada banyak gangguan yang telah dibahas, peningkatan stres kehidupan meningkatkan kemungkinan kekambuhan. Para individu yang mengalami skizofrenia tampak sangat reaktif terhadap berbagai stresor yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Orang dengan gangguan skizofrenia sangat rentan terhadap stres sehari-hari.
Kelas Sosial dan Skizofrenia. Angka kejadian tertinggi skizofrenia terdapat di berbagai wilayah pusat kota yang dihuni oleh masyarakat dari kelas-kelas sosial rendah. Hubungan antara kelas sosial dan skizofrenia tidak menunjukkan tingkat kejadian skizofrenia yang semakin tinggi seiring dengan semakin rendahnya kelas sosial. Namun, terdapat perbedaan yang sangat tajam antara jumlah orang yang menderita skizofrenia dalam kelas sosial terendah dan jumlah penderita skizofrenia pada berbagai kelas sosial lain.
Korelasi antara kelas sosial dan skizofrenia memiliki konsistensi, namun sulit untuk menginterpretasikannya secara kausal. Beberapa orang percaya bahwa stresor yang berhubungan dengan kelas sosial rendah dapat menyebabkan atau berkontribusi terhadap terjadinya skizofrenia yaitu hipotesis sosiogenik. Perlakuan merendahkan yang diterima seseorang dari orang lain, tingkat pendidikan yang rendah dan kurangnya penghargaan serta kesempatan secara bersamaan dapat menjadikan keberadaan seseorang dalam kelas sosial terendah sebagai kondisi yang penuh stres yang membuat seseorang setidak-tidaknya yang memiliki predisposisi menderita skizofrenia.
Teori seleksi-sosial, membalikan arah kausalitas antara kelas sosial dan skizofrenia. Dalam perjalanan berkembangnya psikosis mereka, orang-orang yang menderita skizofrenia dapat terseret ke dalam wilayah kota yang miskin. Berbagai masalah kognitif dan motivasional yang semakin berkembang yang membebani para individu tersebut dapat sangat melemahkan kemampuan mereka untuk memperoleh pendapat sehingga mereka tidak mampu tinggal di wilayah lain. Atau, mereka memilih untuk pindah ke wilayah di mana mereka hanya menghadapi sedikit tekanan sosial dan di mana mereka dapat melarikan diri dari hubungan sosial yang mendalam.
Secara ringkas, data-data yang ada lebih mendukung teori seleksi sosial dibanding teori sosiogenik. Namun, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa lingkungan sosial tidak memiliki peran apapun dalam skizofrenia.
Keluarga dan Skizofrenia. Hubungan keluarga terutama antara ibu dan anak laki-laki, sebagai hal penting dalam terjadinya skizofrenia. Berbagai studi terhadap keluarga para indivdu yang menderita skizofrenia mengungkap bahwa dalam beberapa hal mereka berbeda dari keluarga normal. Beberapa temuan menunjukkan bahwa komunikasi buruk orang tua dapat berperan dalam etiologi skizofrenia. Penyimpangan komunikasi dalam keluarga ditemukan memprediksi terjadinya skizofenia kelak pada anak-anak mereka, memperkuat signifikansinya. Meskipun demikian, penyimpangan komunikasi bukan faktor etiologis spesifik bagi skizofrenia karena orang tua para orang dengan gangguan skizofrenia manik sama tingginya pada variabel ini. Lingkungan keluarga yang terganggu merupakan akibat dari adanya anak yang terganggu dalam keluarga. Dengan demikian, kita hanya dapat mengatakan dengan tidak pasti bahwa peran keluarga dalam etiologi skizofrenia telah dikethui.
Serangkaian studi yang dilakukan di London mengindikasikan bahwa keluarga dapat memberikan dampak penting terhadap penyesuaian orang dengan gangguan skizofrenia setelah mereka keluar dari rumah sakit. Lingkungan di mana orang dengan gangguan skizofrenia tinggal setelah keluar dari rumah sakit sangat berpengaruh pada seberapa cepat mereka akan kembali dirawat di rumah sakit.
       
G.    Skizofrenia Menurut Perspektif Psikodinamika
Menurut pandangan psikodinamika, skizofrenia mencerminkan ego yang dibanjirinya oleh dorongan-dorongan seksual primitif atau agresif atau impuls-impuls yang berasal dari id. Impuls-ilmpuls tersebut mengancam ego dan berkembang menjadi konflik intrapsikis yang kuat. Di bawah ancaman seperti itu, orang tersebut mundur ke periode awal dari tahapan oral, yang disebut sebagai narsisme primer. Pada periode ini bayi belum belajar bahwa dunia dan dirinya adalah hal yang berbeda. Karena ego menjembatani hubungan antara diri degan dunia luar, kerusakan pada fungsi ego ini berpengaruh terhadap adanya jarak terhadap realitas yang khas skizofrenia. Masukan dari id menyebabkan fantasi menjadi disalahartikan sebagai realitas, menyebabkan halusinasi dan waham. Impuls-impuls primitif mungkin juga membawa beban yang lebih berat daripada norma-norma sosial dan diekspresikan pada perilaku yang aneh, dan tidak sesuai secara sosial.
Pengikut-pengikut Freud, seperti Erik Erikson dan Harry Stuck Sullivan lebih menekankan pada faktor interpersonal daripada intrapsikis. Sullivan (1962), misalnya, yang mengabdikan sebagian besar waktu kerjanya untuk meneliti skizofrenia, menekankan pentingnya hubungan ibu dan anak yang terganggu, dan mengemukakan argumentasi bahwa hal tersebut dpat menetapkan tahapan untuk penarikan diri secara perlahan-lahandari orang lain. Pada masa kanak-kanak awal, interaksi yang penuh kecemasan dan permusuhan antara anak dan orang tua membawa anak untuk mencari perlindungan pada dunia fantasi yang bersifat pribadi. Lingkaran setan pun terjadi: Semakin anak menarik diri, semakin berkurang kesempatan yang ada untuk membangun kepercayaan pada orang lain dan keterampilan sosial yang dibutuhkan untuk membangun keintiman. Kemudian ikatan yang lemah antara anak dan orang lain mendorong kecemasan sosial dan penarikan diri yang lebih jauh. Siklus ini berlanjut sampai masa dewasa muda. Kemudian, dihadapkan dengan meningkatnya tuntutan di sekolah atau pekerjaan dan dalam hubungan intim, orang tersebut menjadi semakin dibanjiri dengan kecemasan dan menarik diri sepenuhnya ke dunia fantasi.
Kritik terhadap pandangan Freud menyatakan bahwa perilaku skizofrenia dan perilaku infantil tidak sepenuhnya sama, sehingga skizofrenia tidak dapat dijelaskan dengan regresi. Kritik terhadap pandangan Freud dan ahli teori psikodinamika modern mencatat bahwa penjelasan psikodinamika bersifat post hoc, atau retrospektif. Hubungan anak dan orang dewasa pada masa awal diingat kembali dari sudut pandang masa dewasa dan bukannya diamati secara longitudinal (terus-menerus). Ahli psikoanalisis tidak pernah dapat menunjukan bahwa hipotesis tentang pengalaman masa kanak-kanak awal atau pola-pola keluarga menyebabkan skizofrenia.

H.    Penyebab atau Sumber Stressor Skizofrenia
Hubungan keluarga yang terganggu sejak lama telah dianggap berperan dalam perkembangan dan perjalanan gangguan skizofrenia (Miklowiz, 1994). Teori-teori keluarga yang awal emmfokuskan pada peran anggota keluarga yang “patogenik” seperti ibu yang skizofrenogenik (Fromm-Reichmann, 1948, 1950). Dalam pandangan seksisme psikiatris historis yang dianut oleh sejumlah feminis, ibu yang skizofrenogenik digambarkan sebagai orang yang dingin, angkuh, overprotektif, dan sangat mendominasi.
Pada tahun 1950-an, teoritikus keluarga mulai memfokuskan perhatian pada peranan komunikasi yang terganggu dalam keluarga. Satu dari teori yang penting, dikemukakan oleh Gregory Beteson dan rekan-rekannya (1965), bahwa komunikasi double-bind berkontribusi terhadap perkembangan skizofrenia. Komunikasi double-bind mengirim dua pesan yang saling tidak bersesuaian. Pada komunikasi double-bind dengan seorang anak, seorang ibu mungkin bersikap dingin ketika anak mendekatinya dan kemudian memarahi anak karena menjaga jarak. Apapun yang dilakukan anak, ia selalu salah. Dengan pengalaman yang berulang pada kejadian double-bind semacam ini pemikiran anak mungkin menjadi tidak terorganisasi dan kacau.
Mungkin komunikasi double-bind berperan sebagai sumber stress keluarga yang meningkatkan risiko skizofrenia pada individu yang memiliki kerentanan genetis. Pada tahun-tahun terakhir ini, para peneliti telah memeperluas penyelidikan tentang faktor keluarga pada skizofrenia dengan lebih memandang keluarga sebagai sistem hubungan antara anggota-anggota daripada sekedar membedakan interaksi ibu-anak atau ayah-anak. Penelitian mulai mengidentifikasi faktor penyebab stres pada keluarga yang mungkin berinteraksi dengan kerentanan genetis dalam menyebabkan berkembangnya skizofrenia. Dua sumber utama dari stres keluarga yang telah dipelajari adalah pola-pola komunikasi yang menyimpang dan ekspresi emosi yang negatif dalam keluarga.
Penyimpangan dalam komunikasi Penyimpangan dalam komunikasi (communication deviance-CD) adalah pola komunikasi yang tidak jelas, samar-samar, terganggu, atau terpecah-pecah, yang tidak sering ditemukan pada orang tua dan anggota keluarga dari pasien skizofrenia. CD ditandai dengan pembicaraan yang sulit untuk diikuti dan sulit ditangkap intinya (Wahlberg dkk., 2001). Orang tua dengan CD yang tinggi mengalami kesulitan memfokuskan pad aapa yang disampaikan oleh anak mereka (Miklowitz, 1994). Mereka cenderung untuk menyerang anak-anak mereka secara verbal daripada menawarkan kritik membangun, dan mungkin membawa mereka dalam komunikasi double-bind. Mereka juga cenderung untuk menginterupsi anak dengan komentar yang negatif dan mengganggu. Mereka cenderung untuk mengatakan pada anak apa yang “benar-benar” mereka pikirkan daripada membiarkan anak untuk memformulasikan pikiran dan perasaannya sendiri. Orang tua dari orang-orang yang menderita skizofrenia menunjukan tingkat penyimpangan komunikasi yang lebih tinggi daripada orang tua dari orang-orang yang tidak menderita skizofrenia (Miklowitz, 1994).
Penyimpangan komunikasi mungkin satu dari faktor-faktor yang berkaitan dengan stress yang meningkatkan risiko berkembangnya skizofrenia pada individu yang memiliki kerentanan genetis (Goldstein, 1987). Kemudian juga, penyebab ini mungkin bekerja pada arah yang berlawanan. Mungkin penyimpangan komunikasi adalah reaksi orang tua terhadap perilaku anak yang terganggu. Orang tua mungkin belajar untuk menggunakan bahasa yang aneh sebagai cara menyesuaikan dengan anak yang terus-menerus mengganggu dan mengonfrontasi mereka.atau mungkin orang tua dan anak yang memiliki trait genetis yang sama, kemudian diekspresikan dalam komunikasi yang terganggu dan meningkatkan kerentanan terhadap skizofrenia, tanpa ada hubungan antar keduanya.
Ekspresi Emosi Pengukuran lain dari komunikasi keluarga yang terganggu disebut sebagai ekspresi emosi (expressed emotion-EE). EE melibatkan kecenderungan anggota keluarga untuk bersikap kejam, mengkritik, dan tidak mendukung pada anggota keluarga yang menderita skizofrenia. Orang dengan skizofrenia yang memiliki keluarga dengan EE tinggi cenderung menunjukan penyesuaian diri yang lebih buruk dan memiliki rata-rata kambuh yang tinggi setelah keluar dari rumah sakit, dibandingkan mereka yang memiliki keluarga yang lebih mendukung (Cutting & Docherty, 2000; King & Dixon, 1999). Pemeriksaan terhadap fungsi kepribadian menunjukan sanak keluarga dengan EE tinggi menunjukan lebih sedikit empati, toleransi dan fleksibilitas daripada sanak keluarga yang memiliki EE yang rendah ( Hooley & Hiller, 2000 ). Sanak keluarga dengan EE tinggu juga cenderung untuk percaya bahwa pasien skizofrenia dapat melatih kontrol yang lebih besar terhadap perilaku mereka, dibandingkan sanak keluarga dari pasien yang sama yang meiliki EE rendah (Weisman, dkk., 2000). Ekspresi emosi pada sanak keluarga juga dikaitkan dengan risiko yang lebih besar untuk kambuh dari gangguan lainnya, seperti depresi utama dan gangguan makan (Butzlaff & Hooley, 1998).
Keluarga dengan EE rendah mungkin sebenarnya bertugas melindungi, atau membentengi, anggota keluarga yang mengalami skizofreniadari pengaruh buruk dari stresor yang berasal dari luar dan membantu mencegah episode yang berulang. Namun interaksi keluarga merupakan jalur dua arah. Anggota keluarga dan pasien saling mempengaruhi dan selanjutnya dipengaruhi. Perilaku mengganggu yang dimiliki oleh anggota keluarga yang skizofrenik membuat anggota keluarga yang lainnya frustasi, mendorong mereka untuk berespons pada penderita dengan cara memberi lebih sedikit dukungan dan lebih banyak mengkritik serta lebih kejam. Hal ini pada gilirannya dapat memperburuk perilaku menggangu pada pasien skizofrenia (Bellack & Mueser, 1993).  

Faktor Keluarga dalam Skizofrenia: Penyebab atau Sumber Stres? Tidak terdapat bukti yang mendukung keyakinan bajwa faktor keluargam seperti interaksi keluarga yang negatif, menyebabkan skizofrenia pada anak-anak yang tidak memiliki kerentanan genetis. Kemudian apa peranan faktor keluarga pada skizofrenia? Dalam model diatesis stres, pola-pola interaksi dan komunikasi emosioanl yang terganggu dalam keuarga menunjukan suatu sumber stres potensial yang mungkin meningkatkan risiko berkembangnya skizofrenia pada orang-orang yang memiliki predisposisi genetis untuk gangguan ini. Mungkin peningkatan risiko ini dapat meminimalkan atau dihilangkan apabila anggota keluarga diajarkan untuk mengatasi stress dan mengurangi kritik serta lebih mendukung terhadap anggota-anggota keluarga mereka yang menderita skizofrenia. Program-program konseling yang membantu anggota keluarga dari orang yang menderita skizofrenia kronis belajar ntuk mengekspresikan perasaan mereka tanpa menyerang atau mengkritik orang yang menderita skizofrenia mungkin dapat mencegah konflik keluarga yang merusak penyesuaian diri orang tersebut. Anggota keluarga yang menderita skizofrenia mungkin juga dapat mengambil manfaat dari usaha-usaha untuk mengurangi tingkat kontak dengan saudara yang gagal berespons pada intervensi keluarga.

Bukti Penelitian yang Mendukung Model Diatesis-Stres  Beberapa macam bukti yang mendukung model diatesis-stres. Satu sumber yang mendukung adalah fakta bahwa skizofrenia cenderung berkembang pada masa remaja akhir atau masa dewasa awal, sekitar waktu dimana orang muda biasanya menghadapi meningkatnya tekanan yang berhubungan dengan tantangan perkembangan yang berkaitan dengan diperolehnya kemandirian dan penemuan sebuah peran dalam kehidupan. Bukti lain menunjukan bahwa stres psikososial, seperti kritik yang berulang-ulang dari anggota keluarga, memperburuk simtom-simtompada orang yang menderita skizofrenia, meningkatkan risiko kambuh (King & Dixon, 1995).
Sumber-sumber stres lain yang mungkin berkontribusi dalam perkembangan skizofrenia pada orang-orang yang memiliki kerentana genetis mencakup faktor-faktor psikososial yang berhubungan dengan kemiskinan, seperti kepadatan yang berlebihan, makanan dan sanitasi yang buruk, perumahan yang miskin, dan perawatan kesehatan yang tidak adekuat (Kety,1980).Pendukung lain untuk model diatesis-stres nerasal dari enelitian longitudinal terhadap anak-anak yang memiliki risiko tinggi yang berada pada risiko genetis yang meningkat untuk mengembangkan penyakit karena salah satu atau kedua orang tuanya menderita skizofrenia. Penelitian longitudinal pada anak-anak yang orang tuanya mengalami skizofrenia mendukung prinsip utama model diatesis-stres bahwa hereditas berinteraksi dengan pengaruh lingkungan dalam menentukan kerentanan terhadap skizofrenia.    

I.       Treatmen Skizofrenia
Tidak ada penyembuhan untuk skizofrenia. Penanganan biasanya mencakup banyak segi, menggabungkan pendekatan farmakologis, psikologis, dan rehabilitatif. Kebanyakn orang skizofrenia yang dirawat dalam lingkup kesehatan mental yang terorganisasi menerima beberapa bentuk obat antipsikotik, yang dimaksudkan untuk mengendalikan pola-pola perilaku yang lebih ganjil, seperti halusinasi dan waham, dan mengurangi resiko yang berulang-ulang.
Treatmen Biologis Munculnya obat-obat antipsikotikpada 1950-an-juga dikenal sebagai penenang mayor atau neuroleptik- membawa perubahan dalam perawatan pasien skizofrenia dan memeberikan dorongan terhadap dilepaskannya pasien penyakit mental dalam skala besar kembali ke komunitas (deinstitusionalisasi). Fakta bahwa obat-obatan dapat mengontrol sebagian besar simtom psikosis yang menguras tenaga dan melemahkan, setidaknya terhadap beberapa hal yang berarti bahwa ratusan ribu orang dapat ditangani dengan cara berobat jalan dan bukan lagi melalui supervisi yang konstan dan terbatas.
Terdapat beberapa kategori obat-obatan psikotik yang disebut juga obat penenang utama atau neuroleptik yang berasal dari kata dalam bahasa Yunani yang berarti “memperbaiki saraf”. Sebagai tambahan bagi kualitas menenangkan yang dimilikinya, neuroleptik menurunkan frekuensi dan tingkat keparahan simtom-simtom psikotik. Berbagai jenis neuroleptik berbeda dalam dosis yang diperlukan untuk mencapai efek terapeutik mereka, dengan rentang yang bergerak dari obata-obatan dengan potensi rendah yang memerlukan dosis tinggi hingga obat-obatan yang berpotensi tinggi hingga hanya diperlukan dosis yang relatif lebih rendah. Seorang dokter akan lebih cenderung memberikan resep obat-obatan potensi rendah untuk pasien yang sangat terganggu karena obat-obatan potensi rendah cenderung memiliki efeke lebih menenangkan daripada obat-obatan dengan potensi tinggi. Obat-obatan potensi tinggi dapat diberikan pada seorang pasien yang tidak terlalu terganggu, namun memiliki risiko efek samping yang serius.
Obat-obatan antipsikosis yang biasanya diresepkan tersebut memiliki efek mengahalangi reseptor dopamin. Dengan kata lain, obat-obatan tersebut mengandung zat kimia yang terkait dengan neuron yang biasanya akan bereaksi terhadap neurotransmitter dopamin. Hal ini menimbulkan dua hasil perilaku, perilaku terapeutik dan perilaku yang tidak diharapkan serta mengganggu.

Treatmen Sosiokultural Mempertahankan hubungan antara orang yang mengalami skizofrenia dengan anggota keluarga dan komunitas yang lebih besar merupakan bagian dari tradisi budaya pada banyak kebudayaan Asia, juga pada bagian dunia lainnya, seperti Afrika. Orang yang sakit mental di Cina, misalnya tetap memiliki dukungan kuat dari hubungan dengan keluarga dan tempat kerja, yang membantu meningkatkan kesempatan untuk kembali berintegrasi dengan kehidupan komunitas (Liberman, 1994). Pada pusat-pusat pengobatan untuk penanganan skizofrenia di Afrika, dukungan yang kuat uang diterima oleh pasien dari keluarga dan anggota komunitas, bersama-sama dengan gaya hidup yang berpusat pada komunitas, merupakan elemen penting terhadap keberhasilan perawatan (Peltzer & Machleidt, 1992).

Terapi Psikodinamika Freud tidak yakin bahwa psikoanalisis tradisional sesuai untuk penanganan skizofrenia. Tindakan menarik dari ke dalam dunia fantasi yang merupakan ciri skizofrenia mencegah penderita untuk membentk hubungan yang bermakna dengan psikoanalisis. Teknik psikoanalisis klasik, tulis Freud, harus “digantikan oleh yang lain; dan kita belum dapat mengetahui apakah kita akan berhasil menemukan pengganti” (sebagaimana dikutip dalam Arieti, 1974, hal 532).
Psikoanalisis yang lainm seperti Harry Stack Sullivan dan Frieda Fromm-Reichmann, mengadaptasi teknik psikoanalisis secara spesifik untuk perawatan skizofrenia. Namun, penelitian gagal menunjukan efektivitas terapi psikoanalisis maupun psikodinamika untuk skizofrenia. Dengan keterangan tentang penemuan-penemuan negatif, beberapa kritik mengemukakan bahwa penggunaan terapi psikodinamika untuk menangani skizofrenia tidaklah terjamin (antara lain Klermanm 1984). Namun hasil yang menjanjikan dilaporkan untuk sebuah bentuk terapi individual yang disebut terapi personal yang berpijak pada model diatesis-stres. Tetapi personal membantu pasien beradaptasi secara lebih efektif terhadap stres dan membantu mereka membangun keterampilan sosial, seperti mempelajari bagaimana menghadapi kritik dari orang lain. Bukti-bukti awal menjelaskan bahwa terapi personal mungkin mengurangi rata-rata kambuh dan meningkatkan fungsi sosial, setidaknya di antara pasien skizofrenia yang tinggal dengan keluarga (Bustillo dkk., 2001; Hogarty dkk., 1997a, 1997b).

Treatmen Berdasarkan Belajar Meskipun sedikit terapis perilaku yang meyakini bahwa yang salah menyebabkan skizofrenia, intervensi berdasarkan pembelajaran telah menunjukan efektivitas dalam memodifikasi perilaku skizofrenia dan membantu orang-orang yang mengalami gangguan ini untuk mengembangkan perilaku yang lebih adaptif yang dapat membantu mereka menyesuaikan diri secara lebih efektif untuk hidup dalam komunitas. Metode terapi meliputi teknik-teknik seperti (1) reinforcement selektif terhadap perilaku (seperti memberikan perhatian terhadap perilaku yang sesuai dan menghilangkan verbalisasi yang aneh dengan tidak lagi memberi perhatian); (2) token ekonomi, dimana individu padaunit-unit perawatan di rumah sakit diberi hadiah untuk perilaku yang sesuai dengan token, seperti kepingan plastik, yang dapat ditukar dengan imbalan yang nyata seperti barang-barang atau hak-hak istimewa yang diinginkan; dan (3) pelatihan keterampilan sosial, di amna klien diajarkan keterampilan untuk melakukan pembicaraan dan perilaku sosial lain yang sesuai melalui coaching (latihan), modeling, latihan perilaku, dan umpan balik.

Rehabilitasi Psikososial Orang-orang yang mengalami skizofrenia biasanya mengalami kesulitan untk berfungsi dalam peran-peran sosial maupun pekerjaan. Masalah-masalah ini membatasi kemampuan mereka untuk menyesuaikan diri terhadap kehidupan komunitas bahkan dalam keadaan tidak adanya perilaku psikotik yang tampak.
Pusat rehabilitasi dengan beragam layanan biasanya menawarkan perumahan sebagaimana pekerjaan dan kesempatan pendidikan. Pusat-pusat ini sering kali mempergunakan pendekatan pelatihan perselisihan dengan anggota keluarga, membangun persahabatan, naik bus, memasak makanan mereka sendiri, berbelanja, dan lain-lain.

Program Intervensi Keluarga Konflik-konflik keluarga dan interaksi keluarga yang negatif dapat menumpuk stres pada anggota keluarga yang  mengalami skizofreni, meningkatkan risiko episode yang berulang (Marsh & Johnson, 1997). Para peneliti serta klinisi telah bekerja dengan keluarga-keluarga dari orang-orang yang mengalami skizofrenia untuk membantu mereka menyesuaikan diri dengan beban untuk merawat dan membantu mereka dalam mengembangkan cara-cara yang lebih kooperatif dan tidak terlalu konfrontatif dalam berhubungan dengan orang lain. Komponen-komponen spesifik dari intervensi keluarga bervariasi pada tiap program, namun biasanya mereka memiliki beberapa ciri yang sama, seperti memfokuskan pada aspek praktis dari kehidupan sehari-hari, mendidik anggota keluarga yang skizofrenia, mengajarkan mereka bagaimana cara berhubungan dengan cara yang tidak terlalu frontal terhadap anggota keluarga yang menderita skizofrenia, meningkatkan komunikasi dalam keluarga, dan memacu pemecahan masalah yang efektif dan keterampilan coping untuk menangani masalah-masalah dan perselisihan-perselisihan  keluarga. Bukti-bukti menunjukan bahwa program intervensi keluarga yang terstruktur dapat mengurangi friksi dalam keluarga, meningkatkan fungsi sosial pada pasien skizofrenia, dan bahkan mengurangi rata-rata kekambuhan (Bustillo dkk., 2001; Mueser dkk., 2001; Penn & Mueser, 1996). Namun, keuntungannya tampak biasa saja, dan tetap ada pertanyaan tentang apakah kekambuhan dicegah atau sekedar ditunda.
Ringkasnya, tidak ada pendekatan penanganan tunggal yang memenuhi semua kebutuhan orang yang menderita skizofrenia. Konseptualisasi skizofrenia sebagai disabilitas sepanjang hidup menggarisbawahi kebutuhan untuk perawatan intervensi  jangka panjang yang menggabungkan pengobatan antipsikotik, terapi keluarga, bentuk-bentuk terapi suportif atau kognitif-behavioral, pelatihan vokasional, dan penyediaan perumahan yang layak serta pelayanan dukungan sosial lainnya (Bustillo dkk., 2001; Huxley, Rendall, & Sedere, 2000; Sensky dkk., 2000; Tarrier dkk., 2000). Intervensi-intervensi ini seharusnya dikoordinasikan dan diintegrasikan dalam model perawatan yang menyeluruh agar lebih efektif dalam membantu individu meraih penyesuaian sosial secara maksimal (Coursey dkk., 1997). Layanan-layanan penanganan juga lebih cenderung meningkatkan fungsi klien dalam area-area tertentu, seperti meningkatkan pekerjaan dan kehidupan yang mandiri, apabila mereka secara khusus diarahkan pada area-area tersebut (Brekke dkk., 1997).  Model ini dapat terdiri dari terapi obat, perawatan rumah sakit apabila dibituhkan, program berdasarkan belajar di dalam rumah sakit, program intervensi keluarga, program pelatihan keterampilan, kelompok-kelompok self-help sosial, dan program rehabilitasi yang terstruktur.


















BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik kronis yang ditandai oleh episode akut yang mencakup kondisi terputus dengan realitas, yang ditampilkan dalam ciri-ciri seperti waham, halusinasi, pikiran tidak logis, pembicaraan yang tidak koheren, dan perilaku yang aneh. Defisit residual dalam area kognitif, emosional, dan sosial dari fungsi-fungsi yang ada sebelum epsode akut. Skizofrenia diyakini mempengaruhi sekitar 1% dari populasi.
Skizofrenia biasanya berkembang pada akhir masa remaja akhir atau awal masa dewasa. Kemunculannya bisa mendadak ataupun perlahan-lahan. Kemunculan yang perlahan-lahan diawali oleh fase prodromal, suatu periode deteriorasi secara perlahan-lahan yang mengawali kemunculan dari simtom-simtom yang akut. Episode akut, yang mungkin terjadi secara berkala sepanjang kehidupan, ditandai oleh simtom psikotik yang jelas, seperti halusinasi dan waham. Antara episode-episode akut, gangguan ditandai oleh fase residual di mana tingkat fungsi seseorang serupa dengan apa yang muncul selama fase prodromal.
Model diatesis stres mengemukakan bahwa skizofrenia berasal dari interaksi antara predisposisi genetis dan stresor lingkungan (misalnya, konflik keluarga, perlakuan yang salah pada anak, deprivasi emosional, hilangnya figur-figur pendukung, trauma otak di awal kehidupan).
Faktor-faktor keluarga seperti penyimpangan komunikasi dan ekpresi emosi mungkin berperan sebagai sumber stres yang meningkatkan risiko berkembangnya atau berulangnya kembali skizofrenia pada orang-orang yang memiliki predisposisi genetis.
Perawatan kontemporer cenderung menyeluruh, menggabungkan antara pendekatan psikofarmakologis dan psikososial. Pengobatan antipsikostik bukanlah penyembuh namun cenderung menghambat aspek-aspek gangguan yang lebih mencolok dan mengurangi kebutuhan akan perawatan rumah sakit serta risiko episode yang berulang.
Jenis-jenis intervensi psikososial yang menunjukan hasil yang menunjukan adalah pendekatan yang pada prinsipnya berdasarkan prinsip belajar, seperti sistem token ekonomi dan pelatihan keterampilan sosial. Hal-hal tersebut dapat membantu meningkatkan perilaku adaptif pada pasien skizofrenia. Pendekatan rehabilitasi psikososial membantu orang-orang yang menderita skizofrenia beradaptasi secara lebih berhasil terhadap pekerjaan dan peran-peran sosial di komunitas. Program intervensi keluarga membantu keluarga untuk melakukan coping terhada beban merawat, berkomunikasi secara lebih jelas, dan belajar cara-cara yang lebih membantu dalam berhubungan dengan pasien.
























Daftar Pustaka

·         Nevid,Jeffrey S., & Rathus,Spencer,A., & Greene, B. (2005) Psikologi Abnrmal Edisi Kelima Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga
·         P.Halgin,Richard., & K. Whitbourne,Susan (2011) Psikologi Abnormal Persektif Klinis pada Gangguan Psikologis Edisi Kedua Jilid 2. Jakarta: Salemba Humanika
·          















Komentar

Postingan populer dari blog ini

PSIKOLOGI : Gangguan Psikologi menurut Theodore Millon

Gangguan Kepribadian menurut Theodore Millon  Gangguan kepribadian adalah pola perilaku atau cara berhubungan dengan orang lain yang benar-benar kaku. Kekakuan tersebut menghalangi mereka untuk menyesuaikan diri terhadap tuntutan eksternal; sehingga pola tersebut pada akhirnya bersifat self-defeating . Trait-trait kepribadian yang terganggu menjadi jelas di masa remaja atau awal masa dewasa dan terus berlanjut di sepanjang kehidupan dewasa, semakin mendalam dan mengakar sehingga semakin sulit untuk diubah. Tanda-tanda peringatan akan adanya gangguan kepribadian dapat dideteksi pada masa kanak-kanak, bahkan pada perilaku bermasalah dari anak-anak prasekolah. Anak-anak dengan gangguan psikologis atau perilaku bermasalah di masa kanak-kanaknya, seperti gangguan tingkah laku, depresi, kecemasan, dan ketidakmatangan, lebih besar resikonya dibandingkan resiko rata-rata untuk mengembangkan gangguan kepribadian di kemudian hari (Berstein dkk.,1996; Kasen dkk., 2001). Gangguan kepriba

CONTOH ANGKET MINAT BAKAT DALAM PEMILIHAN JURUSAN UNTUK SMP

Hallo, Assalamu’alaikum sahabat BK… Sebagai guru Bimbingan Konseling, menerima curahan hati para siswa yang kebingungan menentukan masa depannya tentu sudah menjadi hal yang biasa. Apalagi siswa yang sudah  duduk di bangku kelas IX yang akan melanjutkan sekolah ke jenjang SMA. Terkadang, ketika ditanya minat dan bakatnya saja mereka masih kebingungan, hal ini  tentu  saja perlu untuk diberikan bimbingan dan arahan agar mereka dapat melangkah  dan menentukan pilihan  sesuai dengan potensi yang dimilikinya.